Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Kemerdekaan Berpendapat dan Tanggung Jawab Sosial


Posted: Mar. 08, 2006 04:33:45 WIB

Andreas A Yewangoe

Beberapa jauhkan kemerdekaan berpendapat dijamin oleh UUD? Haruskah kemerdekaan berpendapat yang salah satu wujudnya adalah kebebasan pers dibuka seluas-luasnya tanpa batas apa pun? Sebagaimana kita ketahui, di dalam negara-negara demokratis, kemerdekaan pers dan berpendapat adalah salah satu pilar penting dari tegaknya demokrasi itu sendiri.

Sejarah memang memperlihatkan, bahwa negara-negara yang mengerangkeng kebebasan pers, pada akhirnya akan tiba pada otoritarisme yang pada gilirannya tidak membawa kemajuan apa pun. Pers, sebagai "kekuatan keempat" dalam sebuah negara demokrasi, menjamin terwujudnya dan tegaknya civil society, di mana sebuah masyarakat yang dewasa dijamin keberadaannya. Namun demikian, kemerdekaan berpendapat bukanlah segala-galanya. Kemerdekaan seperti itu mesti mempunyai batas-batas, yang dengan sendirinya tidak harus berarti diruntuhkannya pilar demokrasi.

Dalam public issue, yang diterima dan disahkan oleh Sidang Raya World Council of Churches di Porto Alegre, Brasil, hal ini disoroti dengan sangat tajam. Menyiasati karikatur Nabi Muhammad, yang diterbitkan salah satu koran kecil di Denmark, tetapi yang dampaknya luar biasa di seluruh dunia, Sidang Raya itu menegaskan, bahwa penerbitan itu tidak dapat diterima. Bahkan penerbitan seperti itu telah menjadikan rumit dialog dan kerja sama antara orang-orang Kristen dan Muslim yang selama ini telah berjalan baik. Sidang Raya juga mensinyalir bahwa penerbitan karikatur itu telah menyebabkan kontroversi di mana-mana, hal yang mestinya tidak perlu terjadi. Maka Sidang Raya menolak dengan keras penerbitan karikatur tersebut yang telah melecehkan hal-hal yang disucikan di dalam agama-agama. Tetapi Sidang Raya juga menyesalkan terjadinya berbagai kekerasan sebagai akibat dari protes terhadap karikatur itu.

Selanjutnya Sidang Raya menegaskan, bahwa kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang mendasar yang memang harus dijamin dan dilindungi. Ia adalah hak. Tapi pada saat yang sama, hak itu haruslah dipakai secara bertanggung jawab. Hak berpendapat itu akan baik apabila ia (hak itu) menjadikan struktur-struktur kekuasaan dapat dipercayai (accountable) dan menolak penyalahgunaan kekuasaan. Dengan penerbitan karikatur itu, demikian SR WCC, maka kemerdekaan berpendapat telah disalahgunakan dengan menyebabkan pihak dan orang lain sakit hati dan terhina.

Kebebasan yang tanpa batas itu telah melecehkan nilai-nilai agama dan martabat manusia. Dengan melakukan hal ini, justru hak berpendapat didevaluasikan.

Alkitab, demikian SR melanjutkan, justru telah mengingatkan kita: "Sebagai hamba-hamba Allah, hiduplah sebagai orang merdeka, tetapi janganlah kemerdekaan itu dipakai untuk melaku- kan kejahatan, melainkan hormatilah setiap orang " (I Pet 2:16-17).

Agaknya, statement SR WCC ini cukup jelas memperlihatkan, bahwa tanggung jawab sosial untuk hidup di dalam sebuah masyarakat majemuk justru memperoleh penekanan yang mengesankan. Ini bukan saja karena adanya karikatur di Denmark itu, tetapi juga peringatan kepada siapa saja untuk menghormati segala sesuatu yang dihormati di dalam agama-agama dan kebudayaan.

Terima SMS

Sementara kami di Brasil, saya mendapat SMS dari Tanah Air yang mengingatkan bahwa telah terbit sebuah buku di Jakarta yang konon telah memutarbalikkan ayat-ayat Alkitab yang pada gilirannya tentu saja menyedihkan umat Kristen Indonesia. Tentu saja saya tidak menyerukan untuk mengorganisasi unjuk rasa, sebab bagaimana pun tulisan itu adalah tulisan satu orang saja. Tidak bisa kita menggeneralisasi bahwa semua orang yang seagama dengan penulis ikut bertanggung jawab.

Tidak! Saya juga tidak meminta agar pemerintah melarang buku itu, agar tidak menjadi preseden bahwa setiap orang yang tidak senang dengan sebuah buku atau tulisan dengan mudah meminta tangan pemerintah menindaknya. Yang saya minta adalah agar kita menjadi makin dewasa di dalam menyikapi hidup, termasuk di dalam menghayati ajaran dan tuntutan agama-agama kita. Allah jauh lebih besar dari kata-kata dan kalimat-kalimat kita, sehingga apa pun yang kita katakan tentang Dia tidak mengubah apa pun kebesaranNya itu.

Alhasil, kebebasan berpendapat memang dijamin. Tetapi tanggung jawab juga dituntut sehingga kita makin lama makin siuman dan dewasa di dalam masyarakat yang makin majemuk ini. Hanya dengan demikianlah keharmonisan hidup dapat dijamin. *

*Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan anggota Central Committee World Council of Churches

Sumber: Suara Pembaruan, Edisi Kamis, 2 Maret 2006.

Next Story : Apa Yang Sebaiknya Pendeta Pikirkan Tentang Menikahkan Bukan Kristiani?

Terpopuler

Headlines Hari ini