Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Natal: “Dari Mesir Kita Dipanggil-Nya”

Yohanes K.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Dec. 27, 2010 07:24:21 WIB

Natal tahun 2010 diliputi bayang-bayang duka nestapa. Dari bencana alam sampai problem sosial, ekonomi, dan politik yang terus mencabik.

Semua seperti mengalami “hibridisasi” duka problem yang tak kunjung habis. Benih hibrida duka problem itu menciptakan “panen besar” air mata dan derita. Sisi gelap, duka, atau problem itu mau tidak mau menuntut kita untuk merefleksikan Natal tahun ini dengan Natal perdana dari sisi gelap dan bahayanya (dark and dangerous side of Christmas).

Tujuannya agar Natal tahun ini membuahkan empati dan harapan di tengah realitas yang mendera. Berharap dengan melihat sisi gelap dan bahaya Natal perdana, umat kristiani mempunyai harapan dan iman pada Juru Selamat yang dilahirkan itu. Dari sana gereja dan kekristenan mempunyai harapan dan perbuatan untuk memberi kontribusi keselamatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negeri ini.

Raja atau Pengungsi?

Catatan kegelapan Natal perdana yang mengerikan dan sering diceritakan ialah peristiwa the massacre of the innocents, dibunuhnya bayi-bayi berumur di bawah dua tahun (infanticide) sebagai paranoid Herodes. Informasi Yunani me­ngatakan bahwa yang dibunuh sebanyak 14.000 anak, sumber-sumber Siria mengatakan 64.000 anak, dan banyak pe­ngarang abad pertengahan mengatakan 144.000 anak menjadi tumbal.

Herodes mendapat ramalan para Majusi bahwa seorang anak yang dilahirkan di Betlehem akan menjadi Raja. Pikir Herodes itu bisa menjadi rival kekuasaannya. Darah bayi-bayi tak berdosa (holy innocents) menjadi “permadani darah” demi lahirnya Yesus. Tumbal-tumbal tak berdosa nan mulia ini menjadi mosaik gelap di tengah keselamatan yang dibawa Yesus. Bintang kejora dan sukacita Natal di Betlehem dibarengi juga dengan ratap tangis di Rama karena Rahel telah kehilangan anaknya dan mereka tak kembali lagi (Matius 2:19). Atas jasa-jasa ketakberdosaan anak-anak ini, banyak ritual, lukisan, dan pujian dibuat untuk mengenang itu.

Yesus lolos dari pembunuhan massal, tetapi bukan berarti di masa balita-Nya ia bisa hidup tenang. Lolos dari mulut buaya masuk ke mulut singa, itulah yang dialami Keluarga Kudus yang diminta Allah untuk mengungsi ke Mesir demi menghindari pembunuhan Herodes.

Namun mengapa Mesir? Mengapa tidak Yunani, India, atau Nusantara? Apakah Allah tidak salah pilih tujuan peng­ungsian? Allah menyapa Yusuf yang bergelar patron saint of adoptive parents (teladan orang kudus yang mengadopsi, karena Yusuf “mengadopsi” Yesus yang lahir dari Roh Kudus) bergegas ke Mesir. Informasi dari mingguan Al-Ahram Mesir (Desember 2001) mengatakan bahwa kalangan Kristen Ortodok Koptik di Mesir memercayai rute perjalanam Keluarga Kudus (Yesus, Maria, dan Yusuf) ke Mesir itu ditempuh dalam waktu tiga tahun, namun sumber muslim Mesir mengatakan lima tahun.

Inilah sisi gelap dan bahaya Natal perdana yang tak kalah dengan pembunuhan anak-anak di atas, di mana Yesus yang disebut Raja juga rela “direndahkan” menjadi peng­ungsi (King tetapi juga Refugee), pelarian ke Mesir. Pengungsian ke Mesir jelas bukan perjalanan wisata melihat piramida atau Sphinx. Perjalanan ke Mesir ini merupakan “rahasia masa balita Yesus yang tersembunyi” (uncover the secret of Jesus childhood).

Ada banyak pertanyaan yang mencemaskan, bagaimana perjalanan Keluarga Kudus ke Mesir, mengendarai apa (unta, keledai, atau berjalan kaki), bertiga atau disertai rombongan sanak-keluarga yang ikut serta, bahaya macam apakah di perjalanan, gurun, bukit berbatu, panas dan hujankah, melalui desa dan kota yang asing, lalu bagaimana kehidupan mereka di Mesir adalah cerita bersambung yang tentu menggetarkan hati. Apalagi Mesir adalah tempat traumatik leluhur bangsanya ketika diperbudak di sana. Apa tidak salah meng­ungsi ke tanah Firaun dan penuh trauma eksodus, tetapi kini justru dinapaktilasi kembali. Mesir adalah “Betlehem Kedua”.

Satu yang “positif-menenteramkan” perjalanan ke Mesir ialah sebelumnya mereka bertemu dengan tiga Majusi dari Timur yakni Melchior, Caspar, dan Balthasar yang memberikan persembahan emas, kemenyan, dan mur. Beberapa penafsir me­ngatakan, emas saat itu sangat mahal harganya. Kemenyan dan mur juga menjadi barang eksklusif. Alkitab mengatakan ketiga Majusi membuka kotak harta bendanya, jadi itu semua adalah barang berharga.

Penafsir lain mengatakan ketiga Majusi adalah tiga orang raja dari Timur bisa Persia atau Babilonia, tampak dari cara mereka memberi persembahan dan sujud menyembah bayi Yesus. Sebagai orang kaya dan terpandang, pemberian mereka bukan barang murahan. Di luar ketiga barang itu diduga juga masih ada barang-barang persembahan lain yang tidak disebutkan. Barang-barang inilah yang akan menjadi bekal dan modal awal Keluarga Kudus selama mengungsi di Mesir.

Mengapa Mesir?

Apa kata dunia, jika seorang Raja dari umat yang pernah diperbudak dan eksodus keluar dari Mesir selama 40 tahun di padang gurun justru Raja itu sendiri tidak pernah mengalami peristiwa heroik bangsanya. Pengungsian ke Mesir bukan asal mengungsi. Kemarahan Herodes yang akan membunuh Yesus adalah peristiwa yang dipakai Tuhan untuk menggenapi nubuat Hosea 11:1, “… dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu.” Dalam Perjanjian Lama, Musa memimpin umat-Nya keluar dari Mesir sebagai perintisan apa yang dikatakan Hosea. Lalu Yesus disimbolkan sebagai “Musa baru” atau “Musa Perjanjian Baru” yang membawa umat-Nya keluar dari “Mesir rohani”.

Pengungsian ke Mesir secara tidak langsung menggenapi napak tilas Yesus pada pengalaman leluhurnya yang eksodus dari Mesir. Yesus sendiri harus merasakan secara fisik mengungsi ke Mesir dan kembali ke Nazaret setelah Herodes mati. Secara lahiriahm perjalanan ke dan dari Mesir sudah dilakukan-Nya, lalu apakah kekristenan menuntut secara fisik menapaktilasi perjalanan Keluarga Kudus ke Mesir juga? Tentu saja tidak.

Secara fisik Yesus menggenapi apa yang dilakukan Musa dan umat-Nya dan itu cukup bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Namun, secara iman dan rohani, gereja dan umat kristiani dituntut untuk selalu dalam posisi: “dari Mesir kupanggil anak-Ku”.

Natal adalah panggilan agar kita keluar dari Mesir. Tentu bukan dalam makna Mesir secara fisik sebagai negara seperti sekarang, tetapi Mesir dalam makna rohani. Mesir sebagai simbol perbudakan, ilah-ilah lain, problem, di zaman Musa dan kini berupa perbudakan oleh ilah-ilah modern (sukses, harta, tahta, dan bahkan gereja) yang mengesampingkan posisi Allah.

Mesir rohani menjadikan hidup kita seperti tidak mengenal dan tidak mengakui Allah, meski kita beragama dan bergereja. Chip Brogden dari The School of Christ pernah mengatakan bahwa kebanyakan umat Kristen mau dan mudah menjadikan Yesus sebagai Juru Selamat-nya, tetapi sedikit dan sulit bagi yang mau menjadikan-Nya sebagai Tuhannya, yang berkuasa dan memerintah hidupnya secara penuh.

Natal mengingatkan posisi kita di Mesir rohani. Panggilan-Nya untuk keluar dari Mesir harus disambut dengan kerendahan hati. Tanpa traumatik terhadap Mesir rohani kita, pun kebencian terhadapnya. Mesir memang unik, Musa menerima kesejahteraan dan pengetahuan Mesir, di masa kelaparan Abraham juga ke Mesir yang kaya pangan, Yusuf justru dimuliakan di Mesir jadi orang kepercayaan Firaun, Yakub dan anak-anaknya ke Mesir untuk mencari pangan.

Sejahat-jahatnya Mesir, tempat itu dipakai-Nya. Bagaimanapun Mesir sebagai ilah lain, out group, yang bukan kita tapi mereka, yang tidak memperoleh anugerah keselamatan dan seterusnya tetap mempunyai peran yang tak terbantahkan dan menjadi misteri Allah yang dipakai untuk kebaikan umat-Nya, Musa, Abraham, Yusuf, Yakub, Yesus kecil dan kini juga umat kristiani yang menyambut Natal.

Mesir rohani harus ditinggalkan, karena panggilan-Nya jelas lewat Natal. Dari Mesir Kupanggil anak-Ku, dari perbudakan, kekalahan, derita, ilah-ilah dunia, kita jawab panggilan-Nya menuju “Nazaret rohani” tanpa takut lagi karena “Herodes zaman ini” sudah mati. Selamat Natal.

Penulis adalah peneliti di Center for National Urgency Studies, Jakarta .

Next Story : Jemaat Gereja Yasmin Teruskan Ibadah di Trotoar

More news in church

PGI: Tak Ada Kemuliaan Sejati Diperoleh dengan Berpura-pura

"Tidak ada kemuliaan yang diperoleh secara instan. Tidak ada kemuliaan sejati diperoleh dengan berlaku seolah-olah dan berpura-pura," ujar Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Andreas A Yewangoe. ...

Terpopuler

Headlines Hari ini