Interaktif

Gustaf Dupe: Adakah Manfaat Forum Perdamaian Dunia Bagi Indonesia?


Reporter Kristiani Pos

Posted: Jul. 04, 2008 16:42:39 WIB

Gustaf Dupe. (Foto: Kristiani Pos)

Dalam tulisan ini sengaja saya buat dalam bentuk pertanyaan.

Pekan silam, tepatnya pada 24-26 Juni 2008 telah berlangsung suatu acara besar, The 2nd World Peace Forum atau Forum Perdamaian Dunia di hotel Sultan, Jakarta. Ya, acara ini memang dapat dikatakan sebagai 'acara besar' karena dihadiri oleh sekitar 200 lebih peserta dari seluruh benua dan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lalu penutupannya dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kala di Istana Wapres.

Pertemuan akbar ini memiliki tema besar "One humanity, One destiny, One responsibility "atau dalam bahasa Timor disebut satu kemanusiaan, satu takdir, satu tanggungjawab dan Sub tema Forum II ini Addressing Facets of Violence: What can be done?. Memang acara yang diprakarsai dan diselenggarakan oleh Muhammadiyah dalam kerjasama dengan Cheng Ho Multi Culture Trust dan Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini ingin mengangkat dambaan umat manusia akan suatu perdamaian lestari di Bumi yang sedang dilanda aneka konflik dan tindak kekerasan yang menggalaukan, yang merusak sendi-sendi kehidupan bersama, baik secara global maupun secara regional, nasional dan lokal. Toleransi nyaris lenyap dari peradaban hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Hal ini dialami di berbagai penjuru dunia, terutama di Indonesia. Padahal jika melihat kenyataan pada sisi lain bahwa mayoritas semua orang mengaku beragama, yang berarti mengakui dan menerima bahwa seluruh alam semesta termasuk bumi dan segala penghuninya adalah ciptaan satu PENCIPTA AGUNG, yaitu Allah Yang Maha Esa.

Bukankah itu berarti semua orang percaya, apapun agama yang dianutnya, wajib menerima, memelihara dan melindungi semua hasil karya Sang Maha Pencipta?

Semua pesan, ceramah dan buah pikiran yang dikemukakan sepanjang tiga hari Forum ini bermuatan hasrat perdamaian dan kedamaian hidup yang lestari, dambaan melenyapkan intoleransi dan semua bentuk tindak kekerasan global maupun nasional dan lokal, agar terwujud tata dunia yang penuh damai dan sejahtera.

Lalu, suatu pertanyaan besar muncul sehubungan dengan acara Forum tersebut yakni "adakah manfaat Forum ini bagi negeri tercinta Indonesia?". Negeri yang makin terpuruk dalam hampir semua aspek kehidupan, dan belakangan ini makin meruak semangat intoleransi dan tindak kekerasan yang miskin peradaban oleh kelompok tertentu, yang sangat disayangkan bahwa Negara nampak tidak peduli dan sengaja membiarkannya.

Baik pidato pembukaan dari Presiden SBY maupun pidato penutupan dari Wapres Jusuf Kala tidak ada sepatah katapun mengungkit mengenai kondisi terkini dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua pemimpin nasional ini hanya mengisahkan keberhasilan proses perdamaian Aceh saja. Dalam pidato penutupan acara World Peace Forum Wapres sedikit menyinggung keberhasilan proses perdamaian Maluku dan Poso yang kesemuanya itu merupakan cerita masa silam. Kesan yang mau dimunculkan dalam kedua pidato tersebut adalah bahwa seakan-akan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia kini damai-damai saja, atau memang Pemerintah SBY-JK tidak memiliki kepedulian?

Dalam salah satu sidang komisi mengenai Peran Agama dan Civil Societies dalam menciptakan perdamaian dan toleransi seorang partisipan Indonesia mengungkapkan realita hidup yang dilihatnya dalam kehidupan masyarakat majemuk Indonesia. Kebetulan juga dia baru saja menerima informasi tentang peristiwa pengrusakan/pembongkaran paksa yang dilakukan oleh Camat dan aparatnya terhadap gereja di Cimahi, Bandung. Informasi yang disampaikan oleh partisipan ini mendapat tanggapan dan reaksi simpati dari peserta Forum, terutama dari utusan Pakistan yang adalah Ketua Asian Conference on Religion for Peace.

Di sini nampak salah satu manfaat Forum ini bagi Indonesia, yaitu simpati dunia luar terhadap realita kehidupan berbangsa kita yang bukan saja makin terpuruk dalam berbagai aspek terutama makin pudarnya "toleransi" dan jiwa "saling peduli" di antara sesama anak bangsa yang majemuk ini.

Harus diakui bahwa pada kenyataannya perkembangan hidup bermasyarakat kita keadaannya makin memprihatinkan karena adanya "pembiaran tindak kekerasan dan kriminalitas" yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok lain yang berbeda paham dan tidak segera ditindaklanjuti dengan cepat dan adil oleh aparat Negara.

Dalam istilah hukum upaya "pembiaran" ini dikenal dengan istilah "crime by ommission" atau "kejahatan karena pembiaran". Masyarakat Indonesia memiliki harapan besar agar Pemerintahan SBY-JK segera menyadari hal ini dan mengambil tindakan-tindakan yang sepantasnya dan tepat untuk dilakukan.

Kondisi kehidupan bangsa ini akan lebih runyam apabila kelompok-kelompok korban "terpaksa atau dipaksa " untuk membentuk kekuatan pertahanan/pembelaan diri sendiri secara fisik. Menurut saya bukanlah suatu hal yang sulit bagi Presiden SBY dan pemerintahannya untuk memulihkan toleransi dan kedamaian dalam masyarakat, "jika memang mau". Upaya pertama yang perlu untuk dilakukan adalah pelajarilah UUD 1945 dan perangkat hukum lain yang menjamin kebebasan berekspresi maupun kebebasan beragama dan kebebasan melaksanakan ibadah agama dan kepercayaannya masing-masing, lalu tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Apakah ini sesuatu yang sulit untuk dilakukan??

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

**Penulis adalah Chairman of Association of Prison Ministries (Perhimpunan Pelayanan Penjara) di Indonesia.

Next Story : Ancaman Kebebasan Beragama

Terpopuler

Headlines Hari ini