Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Sidang Judicial Review UU Pornografi Tahap 2 Hadirkan Saksi Ahli

Maria F.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Aug. 30, 2009 07:37:14 WIB
Sidang-Judicial-Review-UU-Pornografi-Tahap-2-Hadirkan-Saksi-Ahli

Sidang Judicial Review UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tahap 2 kembali disidangkan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis. (Foto: Kristiani Pos)

Sidang-Judicial-Review-UU-Pornografi-Tahap-2-Hadirkan-Saksi-Ahli

Ahli Pemohon Achie S Luhulima. (Foto: Kristiani Pos)

Sidang-Judicial-Review-UU-Pornografi-Tahap-2-Hadirkan-Saksi-Ahli

Tari Tumatenden dari Minahasa dipertunjukkan dipertunjukkan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi. (Foto: Kristiani Pos)

JAKARTA – Sidang Judicial Review UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tahap kedua kembali digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pemohon dan pemerintah, serta pihak terkait meliputi Komnas Perlindungan Anak, Kowani, MUI.

Sidang berlangsung mulai pukul 10.00 hingga 16.15 WIB dengan berkas perkara yang teregistrasi dengan No. 10/PUU-VII/2009, 17/PUU-VII/2009, dan 23/PUU-VII/2009 ini diajukan oleh 47 Pemohon, Komisi Pemuda Sinode, DPD KNPI Sulawesi Utara, Pemuda Katolik Manado, DPD GAMKI Sulawesi Utara, Komisi WKI Sinode GMIM, Majelis Adat Minahasa, Forum Pemuda Lintas Gereja Manado, GMNI Sulawesi Utara, BEM Fak. Bahasa & Seni, Univ. Negeri Manado, Aliansi Mahasiswa Pemuda Minahasa Selatan, Pemuda remaja KGPM.

Bertindak sebagai kuasa pemohon perkara No. 10/PUU-VII/2009 adalah O.C Kaligis, Purwaning M Yanuar, Rico Pandeirot, Narisqa, Rachmawati, TH Ratna Dewi, Dea Tunggaesti, Vinencius H Tobing, dan Dewi Ekuwi Vina. Pemohon Perkara No. 17/PUU-VII/2009 adalah Patra M Zen, Nur Hariandi, Tabrani Abby, Zainal Abidin, Asfinawati, Abdul Haris, Carolina Martha Sumampouw, Kristian Feran, dan Andi Muttaqien, dengan Ahli Pemohon Rocky Gerung dan Franz Hendra. Pemohon Perkara 23/PUU-VII/2009 adalah Sri Nurherawati, Wahyu Wagiman, Indriaswaty Dyah Saptaningrum, Ermelina Singereta, Naning Ratningsih, Fauzi, Ummi Habsyah, Supriyadi Widodo Eddyono, Taufik Basari, Haryanti Rica, Melly Setyawati, dan Margaretha T Andoe, dengan Ahli Pemohon Achie S Luhulima.

Ahli pemerintah yang akan memberikan pandangan dan penjelasannya pada sidang tersebut terdiri atas Ade Armando (media massa), KRMT Roy Suryo (teknologi informasi), Inke Maris (komunikasi), Taufik Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neuroscientis), Tjipta Lesmana (komunikasi massa), dan Pery Umar Farouk (surveyor internet).

Dalam permohonannya, pemohon mengujikan definisi “pornografi” yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi karena dianggap memuat pengertian yang sangat bias dan dangkal untuk membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Lalu, para pekerja seni mengujikan Pasal 4 ayat 1 UU tersebut yang didalilkan Pemohon melanggar hak konstitusional para pekerja seni, khususnya di wilayah Minahasa, sebab para pekerja seni tersebut mencari nafkah dengan menjual lukisan, ukiran, pahatan, patung-patung serta kerajinan khas lainnya yang secara eksplisit memuat ketelanjangan.

Di samping itu, ketentuan Pasal 10 UU tersebut dianggap memberikan definisi yang kabur mengenai istilah “menggambarkan ketelanjangan”. Istilah ini mengandung tafsir subyektif yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia.

Pasal 20 dan Pasal 21 juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945. Alasan Pemohon, pengaturan tersebut menunjukkan Pemerintah bersama DPR menyerahkan penafsiran makna pornografi ke masyarakat. Selanjutnya, Pasal 23 UU tersebut juga diujikan karena secara substantif dianggap tidak ada satu pasal pun yang mengatur hukum acaranya (hukum formil), sehingga penggunaan UU Pornografi hanya berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian, Pasal 43 yang mewajibkan semua orang untuk memusnahkan semua produk pornografi meski untuk kepentingan sendiri, dianggap sulit terimplementasi karena tidak ada sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya.

Di samping itu, ketentuan Pasal 10 UU tersebut dianggap memberikan definisi yang kabur mengenai istilah “menggambarkan ketelanjangan”. Istilah ini mengandung tafsir subyektif yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia.

Pasal 20 dan Pasal 21 juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945. Alasan Pemohon, pengaturan tersebut menunjukkan Pemerintah bersama DPR menyerahkan penafsiran makna pornografi ke masyarakat. Selanjutnya, Pasal 23 UU tersebut juga diujikan karena secara substantif dianggap tidak ada satu pasal pun yang mengatur hukum acaranya (hukum formil), sehingga penggunaan UU Pornografi hanya berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian, Pasal 43 yang mewajibkan semua orang untuk memusnahkan semua produk pornografi meski untuk kepentingan sendiri, dianggap sulit terimplementasi karena tidak ada sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya.

Sebelum mendengar keterangan ahli, pihak pemohon menyuguhkan sebuah tarian Tumatenden dari Minahasa dipertunjukkan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi sebagai salah satu contoh kasus perdebatan pornografi.

Tjipta Lesmana sebagai Ahli Pemerintah usai menyaksikan tarian tersebut berujar, “setelah menyaksikan tarian tersebut, saya bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa tarian tadi adalah tarian tradisional,” ujar Tjipta. Ia juga memaparkan perbedaan antara obscene dengan porno. Menurutnya, obscene adalah pencabulan atau kegiatan seksual yang digambarkan secara eksplisit, sementara pornografi tidak.

Menurutnya ada lima bidang yang tidak dapat ditafsirkan sebagai pornografi, kelima bidang itu meliputi seni, adat istiadat/custom, sastra, ilmu pengetahuan, olahraga.

Tjipta juga menjelaskan bahwa UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi diakuinya ada beberapa kelemahan pada pasal 1,4 dan 10 pada UU Pornografi yang perlu direvisi dengan mencantumkan kelima bidang tersebut sebagai pengecualian pengertian pornografi agar tidak menyebabkan kesalahpahaman

Hakim Maria Farida Indrati dalam kesempatan tersebut menanyai Pemohon. “Kalau dikatakan Pasal 1 angka 1 bermasalah, apakah menurut anda dengan adanya muatan peraturan ini sudah ada pengurangan pornografi?” tanyanya pada para ahli. Hakim Ahmad Sodiki juga mengingatkan pandangan tentang pluralisme dan pandangan yang menggeneralisasikan keseragaman di seluruh Indonesia.

Tjipta Lesmana yang mendapat banyaknya pertanyaan Majelis Hakim, ia menuturkan bahwa Morality Value itu pada dasarnya berkembang terus. “Itulah mengapa definisi Miller menggunakan kata community. Sebab, UU ini tidak bisa berlaku dari Sabang sampai Merauke. UU ini menurut saya adalah bagian dari perkembangan zaman saat ini,” jelasnya.

Inke Maris menambahi bahwa dalam UU di Indonesia tidak mengandung UU Pornografi, dan menurutnya berbeda dengan di Amerika yang sudah ada UU Pornografi. “Kalau di Indonesia, yang ada adalah UU tentang pencabulan dan kesusilaan,” tukasnya.

Mendengar keterangan ahli, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menggarisbawahi mengenai fungsi hukum. “Hukum tidak hanya menertibkan masyarakat, tetapi juga penguasa yang sewenang-wenang.” Sementara Hakim Muhammad Alim, merujuk pada Teori Hans Kelsen, menegaskan berlakunya empat lingkungan dalam hukum, yakni orang, tempat, waktu, dan masalah.

Next Story : Umat Katolik Himpun Kolekte Bagi Gempa Sumbar

Terpopuler

Headlines Hari ini