Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Laporan Bulanan Wahid Institute: Ideologi Teror Masih Tumbuh Subur di Indonesia

Maria F
Reporter Kristiani Pos

Posted: Aug. 21, 2009 11:03:14 WIB

Jakarta – Wahid Institute, Jumat (21/8) kembali mengeluarkan Monthly Report on Religious Issues (MRORI 21 Agustus 2009) dengan mengangkat peristiwa bom di Hotel JW Marriott – Ritz Carlton sebagai topik utama dalam laporan bulan Agustus 2009.

Di samping bom, beberapa peristiwa akhir-akhir ini juga menunjukkan trend lanjutan, yang juga patut dikritik. Jika selama setengah tahun terakhir, dinamika keberagamaan sepi dari peraturan diskriminatif, namun nampaknya saat ini mulai merebak dan menjamur di berbagai daerah di Indonesia.

Beberapa diantaranya, DPRD Tasikmalaya yang saat ini tengah membahas perda bernuansa syariah, sementara Cianjur telah lebih dulu, bahkan telah merancang Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Berakhlakul Karimah) empat tahun lalu.

Di Konawe, Kendari (Sultra) melakukan pembahasan mengenai raperda zakat, sedangkan Kabupaten Bulukumba (Sulsel) bahkan telah merancang perda zakat enam tahun lalu. Demikian juga soal usulan memasukkan kewajiban memakai busana muslimah untuk siswa di Bangkalan terkait raperda soal pendidikan yang sedang dibahas DPRD setempat.

Di Aceh, Qanun Jinayat akan menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif. Sementara pada beberapa bulan lalu Bogor berencana mencanangakan kota Bogor sebagai Kota Halal, dengan alasan selaras dengan semboyan kota tersebut sebagai kota beriman.

Berita buruk lainnya adalah mengenai peninjauan kembali soal perizinan pembangunan gereja setelah didemo warga di Bekasi.

Dari serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan yang berhasil dicermati dan dihimpun Wahid Institute dalam laporan bulanannya dapat ditarik beberapa analisa antara lain; bahwa serangan teror di Hotel JW Marriott dan Ritz­Carlton, Kuningan, Jakarta, jelas menunjukan Indonesia masih belum sepi dari gerakan terorisme. Yang lebih jelas lagi adalah, ideologi teror ternyata masih terus tumbuh dan bisa diterima segelintir orang di negeri ini. Lebih daripada itu yang paling berbahaya adalah jika orang masih percaya bahwa terorisme itu dibenarkan agama. Oleh karena itu seluruh elemen bangsa ini harus mewaspadai ancaman ini.

Di lain pihak, gerakan formalisasi keagamaan yang meminjam tangan negara agaknya masih akan belum surut. Bentuknya bisa rancangan peraturan daerah bernuansa agama atau sekadar himbauan dari pejabat terkait, seperti Perda Larangan Miras di Subang, Per­da Miras Parepare, Raperda Zakat di Konawe Kendari, dan raperda yang mengatur soal perjudian minuman keras, dan adab berpakaian di Tasikmalaya.

Dengan status kekhususannya, DPRA juga tengah memperjuangkan pengesahan rancangan Qa­nun Hukum Acara Jinayat yang juga mengatur soal minuman, judi, dan khalwat (bersunyi­sunyi), dan zina. Pelaku zina, misalnya, dalam rancangan qanun tersebut yang belum menikah akan diganjar seratus cambukan dan rajam. Selain konteks Aceh, problem formalisasi sebetulnya terletak pada campur tangan negara terhadap kehidupan kelompok keagamaan tertentu, termasuk hasrat kelompok tertentu untuk meminjam tangan negara yang berpotensi mendiskriminasi kelompok keagamaan lain.

Dari beberapa analisa tersebut, langkah atau upaya yang dapat direkomendasikan Wahid Institute antara lain; dalam kasus terorisme, selain terus memburu pelaku dan otak intelektualnya, kasus terorisme di dua hotel itu sebaiknya pula dibarengi dengan upaya meminimalisir pencitraan dan pandangan jika teror itu identik dengan agama.

Citra masyarakat internasional yang masih saja memberi stigma buruk atas Islam dengan teror tentu saja akan memperburuk situasi. Karena itu usaha untuk terus menyebarkan doktrin agama yang toleran, menolak kekerasan, harus terus dikembangkan. Sebab jika masih banyak orang yang sangat percaya jika teror dibenarkan agama, sesungguhnya benih­benih terorisme itu masih sangat potensial dan sewaktu­waktu siap meledak.

Pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri hendaknya lebih memberikan perhatian terhadap perda dan raperda, khususnya dalam upaya mengefektifkan proses harmonisasi hukum apakah peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak. Ini adalah amanat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­Undangan yang perlu dijalankan. Perlu juga diingat bahwa perda­perda bernuansa agama bisa problematik untuk membangun kehidupan masyarakat yang majemuk dengan beragam agama dan keyakinan.

Next Story : Bangsa Indonesia Mengalami Krisis Kepercayaan Terhadap Ulama, Kata Menteri Agama

Terpopuler

Headlines Hari ini