Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Pemugaran Gereja Tugu Menuai Kontroversi

Steven Pramono
Reporter Kristiani Pos

Posted: Jul. 23, 2010 14:47:53 WIB
pemugaran-gereja-tugu-menuai-kontroversi

Gereja Tugu Jakarta Utara. (Foto: Warta Kota)

Proyek pemugaran Gereja Tugu di Koja, Jakarta Utara, menuai kontroversi antara pihak komunitas dengan pihak gereja yang kecewa karena tidak sesuai lagi dengan bangunan aslinya.

Pemugaran terhadap gereja yang berdiri sejak 1748 ini dinilai telah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan karena telah mengubah bentuk bangunan asli menjadi lebih ramping.

Salah seorang jemaat, Retha Ticoalu (63), mengatakan, para jemaat sudah menyampaikan permintaannya kepada pihak terkait. "Sekarang gereja terlihat lebih ramping karena panjang plafon untuk atapnya dikurangi, seharusnya renovasi tidak mengubah bentuk aslinya," tutur Retha Kamis (22/7/2010) kepada Kompas.

Perubahan juga terlihat di bagian atap teras gereja bagian depan dan belakang. Perubahan itu memunculkan masalah saat hujan turun karena tempias membasahi teras gereja.

Para anggota Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) sudah melayangkan surat ke Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman DKI. Namun, dinas tersebut melempar tanggung jawab pengawasan ke Sudin Kebudayaan Jakarta Utara.

Sebaliknya, Kepala Sudin Kebudayaan Jakarta Utara Nanny Ophir menyatakan, pemugaran bangunan cagar budaya itu dilaksanakan oleh dinas, termasuk proses lelang, gambar, dan pengawasan. "Sudin Kebudayaan Jakarta hanya kebagian penganggarannya dan anggaran itu langsung ke rekening bank kontraktor yang bersangkutan," tutur Nanny kepada Kompas.

Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT) sendiri berpendapat bahwa pendapat tersebut keliru. Pasalnya, renovasi dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemerintah serta dijalankan oleh kontraktor atas izin dari dinas pariwisata dan kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Dalam pemugaran ini, IKBT sendiri berperan sebagai pihak yang mengajukan proposal pemugaran dengan pertimbangan bangunan cagar budaya ini perlu peremajaan.

"Pemerintah yang mengeluarkan peraturan bahwa bangunan ini tidak boleh diubah tanpa seizin mereka. Oleh karena itulah, pihak komunitas mengajukan proposal untuk pemugaran. Pada pelaksanaannya, kan pemerintah juga yang mengeksekusi, jadi boleh-boleh saja dilakukan renovasi, dong," tukas Yosias Balelang, Ketua RT01/RW 06, Kecamatan Tugu yang juga Ketua Dewan Penasehat IKBT, kemarin, kepada Media Indonesia Online.

Gereja Protestan ini sendiri mulai direnovasi pada bulan Oktober 2009 silam dan selesai dipugar setelah Natal atau akhir Desember di tahun yang sama. Namun, pihak pengurus gereja menolak melakukan aktivitas peribadatan karena menilai struktur bangunan tidak lagi mencerminkan bangunan asli.

Banyak perbedaan

Pengurus gereja menyatakan kontraktor tidak memiliki konsep matang mengenai struktur asli bangunan. Hal-hal yang harus dipugar ini sebetulnya telah dituangkan dalam proposal dari IKBT sehingga kontraktor dalam hal ini tidak bisa terlalu banyak disalahkan karena hanya bertindak sebagai eksekutor.

Menurut pihak gereja, ada tiga kejanggalan yang merusak struktur asli bangunan. Pertama, kanopi di teras depan seharusnya menempel dengan dasar atap. Namun kenyataannya kanopi berada sekitar satu meter di bawahnya.

Kedua, pinggiran atap kurang lebar 2 meter sehingga dindingnya rawan terkena air dan lembab sehingga mudah jamuran. Ketiga, pendingin ruangan atau AC kurang fleksibel alias tidak bisa dipindah-pindah seperti dahulu.

Selain itu, warna cat juga sempat dipermasalahkan. Pasalnya, kontraktor mengecat dinding luar dengan warna yang tidak sama alias belang-belang sehingga terlihat kusam. Total biaya pemugaran ini sendiri diperkirakan sekitar Rp 430 an juta.

Pihak gereja tidak dilibatkan secara langsung dalam pemugaran gereja menurut Yosias wajar karena pihak gereja hanya menjalankan fungsi sebagai perantara peibadatan dan pemelihara gereja. Sementara pemilik gereja merupakan IKBT selaku ahli waris.

"Gereja memang tidak dilibatkan padahal mereka merasa memelihara, sementara yang memiliki kan tetap IKBT. Beda antara kedua kata itu cukup signifikan," kata Yosias.

Aktivitas peribadatan baru berjalan secara semestinya pada Mei 2010. Hal ini dikarenakan desakan jemaat yang dibarengi dengan aksi mengecat dinding luar gereja dengan warna putih terang. Upaya pengecatan ini sendiri memakan biaya sekitar Rp 21 juta dari kantong jemaat.

"Jemaat sendiri hanya mempermasalahkan soal AC yang kurang fleksibel saja. Namun sejak sekitar sebulan lalu, kegiatan sudah kembali normal. Warna cat ini sudah merupakan warna asli dan didapat dari hasil sumbangan jemaat, kira-kira memakan biaya 21 juta rupiah," kata Yosias sambil menunjuk ke arah dinding warna putih.

Sementara menurut Retha Ticoalu, instansi terkait sudah empat kali membicarakan masalah ini dengan kontraktor yang mengerjakan pemugaran gereja tersebut berkaitan dengan pengembangan program 12 Destinasi Wisata Pesisir. Dalam rapat, kontraktor menyatakan akan mengembalikan gereja ke bentuk aslinya.

Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibangun. Para ahli sejarah menyimpulkan gereja itu dibangun sekitar tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydecker. Pada tahun 1737 Gereja Tugu direnovasi pertama kali dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, Ferreira d'Almeida, dan orang-orang Mardijkers.

Next Story : Federasi Lutheran Sedunia Dorong Usaha "Satu Gereja"

Terpopuler

Headlines Hari ini