Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Ketidakjelasan Relasi Negara dan Agama Akar Persoalan Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia

Maria F.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Nov. 08, 2009 16:31:39 WIB
ketidakjelasan-relasi-negara-dan-agama-akar-persoalan-pelanggaran-kebebasan-beragama-di-indonesia

Seminar yang mengangkat tema Kebebasan Beragama-Amanat Konstitusi dnegan Sub Tema “Tanggungjawab Negara Menjamin Kebebasan Beragama” menghadirkan dua nara sumber Pdt. A.A. Yewangoe Ketua Umum PGI dan Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute) dengan dimoderatori oleh Gustaf Dupe SH, Sekum FKKJ. Graha Bethel, Jakarta. (Foto: Kristiani Pos)

ketidakjelasan-relasi-negara-dan-agama-akar-persoalan-pelanggaran-kebebasan-beragama-di-indonesia

Pdt. A.A. Yewangoe Ketua Umum PGI memberikan pemaparan dalam acara Seminar FKKJ, pada (6/11/2009) di Graha Bethel, Jakarta.

ketidakjelasan-relasi-negara-dan-agama-akar-persoalan-pelanggaran-kebebasan-beragama-di-indonesia

Suasana Seminar FKKJ dengan tema: "Kebebasan Beragama-Amanat Konstitusi dan Sub Tema “Tanggungjawab Negara Menjamin Kebebasan Beragama," Jumat (6/11) di Graha Betel, Jakarta. (Foto: Kristiani Pos)

JAKARTA – Makin meningkatnya pelanggaran kebebasan beragama yang marak terjadi belakangan ini di Indonesia disebabkan karena ketidakjelasan relasi antara negara dan agama. Hal tersebut diungkapkan oleh Pdt. A.A. Yewangoe Ketua Umum PGI dalam acara Seminar FKKJ, pada (6/11/2009) di Graha Bethel, Jakarta.

Seminar yang mengangkat tema “Kebebasan Beragama-Amanat Konstitusi dengan Sub Tema “Tanggungjawab Negara Menjamin Kebebasan Beragama” tersebut menghadirkan dua nara sumber Pdt. A.A. Yewangoe Ketua Umum PGI dan Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute) dengan dimoderatori oleh Gustaf Dupe SH, Sekum FKKJ.

Dalam paparannya, Pdt. A.A. Yewangoe menjelaskan bahwa negara tidak berteologi tetapi yang berteologi adalah gereja dan umat beragama. “Selama relasi agama dan negara itu tidak jelas atau rancu maka kita akan terus menerus mengalami berbagai persoalan, dimana di masa yang akan datang akan makin banyak bermunculan perda-perda bernuansa agama,” tukasnya.

Di Indonesia sendiri, negara hanya mengakui enam agama resmi, ini adalah bentuk kesewenang-wenangan negara, karena negara seharusnya tidak berhak membuat definisi tentang agama yang secara notabene definisi agama diambil dari kriteria-kriteria agama-agama terdahulu yakni Islam, Kristen, Yahudi. Padahal agama itu adalah bentuk atau relasi khusus antara manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, siapa pun berhak beragama menurut caranya sendiri,” urainya.

Lebih lanjut Yewangoe mengatakan bahwa adanya desakan-desakan untuk menutup tempat-tempat ibadah disebabkan oleh cara berpikir yang rancu mengenai relasi negara dan agama.

Pernyataan Yewangoe tersebut didukung oleh Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute) yang mengungkapkan bahwa dari tahun ke tahun angka pelanggaran kebebasan beragama semakin meningkat. Pada tahun 2007 tercatat 270 kasus yang masuk dalam kategori pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian angka tersebut meningkat menjadi 327 kasus pada 2008. Kebanyakan kasus pelanggaran kebebasan beragama terjadi di luar daerah Jakarta.

Setara institute adalah sebuah organsasi yang melakukan monitoring terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Pada masa menjelang pemilu 2009 sampai saat ini diperoleh data sebanyak 150 kasus pelanggaran kebebasan beragama terjadi, belum lagi kasus-kasus yang belum tercatat. Sebagai contoh kasus pendirian rumah ibadah di Lombok pada 1993, akibat konflik horisontal yang terjadi di Maluku, kelompok-kelompok Islam garis keras di Lombok kemudian melakukan penyerangan terhadap gereja-gereja yang ada di Lombok. Tercatat sekitar 13 gereja yang hancur dan di bakar, dan sampai sekarang 13 gereja yang hancur dan dibakar tersebut belum mendapatkan izin kembali untuk mendirikan gedung gereja yang baru sekalipun semu persyaratan telah terpenuhi.

Menurutnya negara tidak boleh ikut campur tangan dan mengkriminalisasi di dalam berekspresi, berpikir, dan beragama. Yang menjadi keprihatinan kita bersama saat ini, lanjut Bonar adalah sikap acuh-tak acuh dan pembiaran yang dilakukan oleh negara. Selain itu, perbuatan intoleransi juga ikut andil menyebabkan hubungan antara umat beragama tidak harmonis.

Lebih parahnya negara bahkan melakukan tindakan inkonsistusional dengan mencabut izin IMB rumah ibadah seperti halnya yang dialami gereja HKBP Depok, dan gereja Stasi Santa Maria di Purwakartak, serta masih ada beberapa yang lainnya. Untuk itu dirasa perlu dibentukl UU inkonstitusional.

Di lain pihak, SAE Nababan salah seorang tokoh Krosten mengatakan perlunya umat Kristiani untuk melakukan auto kritis untuk melihat kembali diri kita, keberadaan kita, serta pemahaman bersama antar kita dan keberadaan kita dalam hubungan dengan lingkungan-lingkungan kita.

Kita harus terus memperjuangkan kebebasan beragama karena secara jelas pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan tiap-tiap penduduknya untuk berubadah dan memeluk kepercayaannya masing-masing serta berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” tegas Yewangoe.

Next Story : Jawa Barat Paling Banyak Terjadi Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama

Terpopuler

Headlines Hari ini